Selasa, 04 Oktober 2011

Saga No Gabai Baachan

Saya memberi bintang 4 untuk buku ini karena saya suka memoar. Terlebih lagi yang inspiratif. Meski menurut saya tidak ada memoar sebaik Totto Chan, buku ini luar biasa.
Baiklah, sebelum kita membicarakan Saga No Gabai Baachan, saya ingin anda membaca paragraf ini. Sering kita dengar tentang seseorang yang begitu mengidolakan seseorang lainnya dan begitu inginnya ia bertemu dengan pujaan hati itu. Tapi ketika terwujud keinginannya, ia malah menangis histeris atau tak bisa berkata kata. Anda bisa melihat kisah seperti ini di acara acara televisi mengenai orang muda yang ingin bertemu artis pujaannya. Ketika menulis ini saya teringat sebuah foto tentang rakyat jelata yang bertemu presiden Soekarno. Si rakyat itu begitu kagumnya dengan sang negarawan sehingga ia menangis dan bersimpuh di kaki beliau.
Menurut anda, mengapa seseorang bisa sampai sedemikian “gilamengidolakan selainnya? Bagaimana bisa orang orang yang kuat dan perkasa rela menggotong seorang ringkih dan sakit sakitan seperti Jendral Soedirman? Ada banyak jawaban tentunya, tapi menurut saya seseorang diidolakan karena ia memiliki “kekuatan. Dan “kekuatanserupa itulah yang membuat saya segera menaruh hormat yang mendalam kepada nenek Osano, tokoh utama dalam buku ini.
Nenek Osano adalah nenek Akihiro Tokunaga (Yoshichi Shimada) sang empunya cerita. Ia adalah seorang yang sangat miskin. Namun kemiskinan tidak membuatnya bersedih hati ataupun mengeluh. Sebaliknya, ia adalah orang yang selalu bersyukur dengan hidupnya. Nenek berusia 58 tahun ini mencari penghidupan dengan menjadi tukang bersih bersih di sebuah Universitas.
Akihiro, sang cucu, awalnya hidup di Hiroshima bersama ibunya yang menjanda setelah kematian ayahnya akibat bom atom. Namun, kekhawatiran sang ibu dengan pendidikan Akihiro sang ibu harus bekerja keras sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk mengawasi Akihiro memaksanya untuk menitipkan Akihiro pada neneknya di Saga. Pengalaman Akihiro bersama neneknya di Saga inilah yang ditulis oleh Yoshichi.
Kemiskinan yang diderita oleh nenek Osano ternyata membuat sang nenek memiliki budi yang hebat dan pekerti yang luhur. Ia memasang galah di sungai dekat rumahnya sehingga sayur-mayur jelek yang dibuang di pasar dapat tersangkut di galah tersebut. Ia mengikatkan tali ke tubuhnya dan mengikatkan juga sebuah magnit di ujung tali lainnya, kemudian menyeret magnit itu ketika berjalan pulang dari bekerja. Di magnet itulah menempel logam logam yang dikumpulkannya untuk kemudian dijual. Bukankah ini budi yang hebat?

Soal pekerti yang luhur, ada sebuah adegan yang mengisahkannya. Suatu saat seorang sepupu nenek Osano bertandang ke rumah untuk meminjam uang. Ditulis dalam lembar adegan ini keheranan Akihiro. Bagaimana seorang yang muda dan masih mampu berusaha bisa meminjam uang kepada seorang tua yang mengalami kesulitan hidup? Tapi tanpa banyak berkata – kata, sang nenek pun mengambil uang simpanannya dan meminjamkannya!
Mengenai kejadian ini, Yoshichi Shimada menulis di halaman 199:
“Bila dipikir – pikir, kehidupan kami sehari – hari tidaklah selalu mudah, namun jika melihat kejadian seperti ini, aku benar – benar tidak tahu apakah nenek memang pelit atau malah royal. Sungguh nenek yang aneh.”
Kadang orang menyebut orang yang memiliki banyak pengalaman sebagai orang yang telah banyak makan asam garamnya kehidupan. Dan memang kesulitan – kesulitan hidup akan selalu melahirkan kebijaksanaan. Saya rasa kesulitan hidup yang diderita nenek Osano membuatnya memandang uang sebagai alat, dan bukan sebagai tujuan hidup. Karena uang adalah alat, maka ia menggunakannya seperlunya saja. Yang saya maksud dengan seperlunya adalah berhemat ketika memiliki uang dan tidak terbebani ketika tidak memiliki uang.
Saya tidak tahu apakah kemiskinan yang diderita oleh Yoshichi dan Neneknya merupakan musibah atau berkah. Namun, menurut saya, jika Yoshichi tidak mengalami hidup miskin ketika kecilnya dan juga tidak mengalaminya bersama sang nenek, kemungkinan besar ia tidak menjadi seperti sekarang ini; menjadi seorang entertainer yang sukses.
Saat ini saya melihat banyak orang tua yang menitipkan anak – anak mereka kepada nenek dan kakek sang anak karena alasan kesibukan mencari nafkah di kota. Namun jatah uang yang dikirimkan orang tua ditambah dengan kakek nenek yang memanjakannya malah membuat hidup sang anak menjadi berantakan. Sepanjang yang saya ketahui, anak yang dititipkan kepada nenek dan kakeknya seperti ini menjadi anak yang bermasalah di sekolah.
Karena itu, buku ini sudah selayaknya dibaca oleh anak, orang tua dan juga kakek nenek. Pengalaman orang lain terlalu sayang untuk hilang dan dilupakan sebagaimana matinya orang yang memiliki pengalaman itu. Pengalaman orang lain sedemikian berharganya sehingga kita perlu memungutnya untuk kita jadikan pelajaran.

Informasi Buku:
Buku 17
Judul: Saga No Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)
Penulis: Yosichi Shimada
Penerbit: Kansha Books
Tebal: 
245 halaman
Cetakan: 
I, April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar