Saya memberi bintang 4 untuk buku ini karena saya suka
memoar. Terlebih lagi yang inspiratif. Meski menurut saya tidak ada memoar
sebaik Totto Chan, buku ini luar biasa.
Baiklah, sebelum kita membicarakan Saga No Gabai
Baachan, saya ingin anda membaca paragraf ini. Sering kita dengar tentang
seseorang yang begitu mengidolakan seseorang lainnya dan begitu inginnya ia
bertemu dengan pujaan hati itu. Tapi ketika terwujud keinginannya, ia malah
menangis histeris atau tak bisa berkata – kata. Anda
bisa melihat kisah seperti ini di acara – acara televisi
mengenai orang muda yang ingin bertemu artis pujaannya. Ketika menulis ini saya
teringat sebuah foto tentang rakyat jelata yang bertemu presiden Soekarno. Si
rakyat itu begitu kagumnya dengan sang negarawan sehingga ia menangis dan
bersimpuh di kaki beliau.
Menurut anda, mengapa seseorang bisa sampai sedemikian “gila”
mengidolakan
selainnya? Bagaimana bisa orang – orang yang
kuat dan perkasa rela menggotong seorang ringkih dan sakit – sakitan
seperti Jendral Soedirman? Ada banyak jawaban tentunya, tapi menurut saya
seseorang diidolakan karena ia memiliki “kekuatan”. Dan “kekuatan”
serupa
itulah yang membuat saya segera menaruh hormat yang mendalam kepada nenek
Osano, tokoh utama dalam buku ini.
Nenek Osano adalah nenek Akihiro Tokunaga (Yoshichi
Shimada) sang empunya cerita. Ia adalah seorang yang sangat miskin. Namun
kemiskinan tidak membuatnya bersedih hati ataupun mengeluh. Sebaliknya, ia
adalah orang yang selalu bersyukur dengan hidupnya. Nenek berusia 58 tahun ini
mencari penghidupan dengan menjadi tukang bersih – bersih di
sebuah Universitas.
Akihiro, sang cucu, awalnya hidup di Hiroshima bersama
ibunya yang menjanda setelah kematian ayahnya akibat bom atom. Namun,
kekhawatiran sang ibu dengan pendidikan Akihiro – sang ibu harus
bekerja keras sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk mengawasi Akihiro – memaksanya
untuk menitipkan Akihiro pada neneknya di Saga. Pengalaman Akihiro bersama
neneknya di Saga inilah yang ditulis oleh Yoshichi.
Kemiskinan yang diderita oleh nenek Osano ternyata
membuat sang nenek memiliki budi yang hebat dan pekerti yang luhur. Ia memasang
galah di sungai dekat rumahnya sehingga sayur-mayur jelek yang dibuang di pasar
dapat tersangkut di galah tersebut. Ia mengikatkan tali ke tubuhnya dan
mengikatkan juga sebuah magnit di ujung tali lainnya, kemudian menyeret magnit
itu ketika berjalan pulang dari bekerja. Di magnet itulah menempel logam – logam yang
dikumpulkannya untuk kemudian dijual. Bukankah ini budi yang hebat?
Soal pekerti yang luhur, ada sebuah adegan yang
mengisahkannya. Suatu saat seorang sepupu nenek Osano bertandang ke rumah untuk
meminjam uang. Ditulis dalam lembar adegan ini keheranan Akihiro. Bagaimana seorang
yang muda dan masih mampu berusaha bisa meminjam uang kepada seorang tua yang
mengalami kesulitan hidup? Tapi tanpa banyak berkata – kata, sang nenek pun
mengambil uang simpanannya dan meminjamkannya!
Mengenai kejadian ini, Yoshichi Shimada menulis di
halaman 199:
“Bila dipikir – pikir, kehidupan kami sehari – hari tidaklah selalu mudah, namun jika melihat kejadian seperti ini, aku benar – benar tidak tahu apakah nenek memang pelit atau malah royal. Sungguh nenek yang aneh.”
Kadang orang menyebut orang yang memiliki banyak
pengalaman sebagai orang yang telah banyak makan asam garamnya kehidupan. Dan memang
kesulitan – kesulitan hidup akan selalu melahirkan kebijaksanaan. Saya rasa
kesulitan hidup yang diderita nenek Osano membuatnya memandang uang sebagai
alat, dan bukan sebagai tujuan hidup. Karena uang adalah alat, maka ia
menggunakannya seperlunya saja. Yang saya maksud dengan seperlunya adalah
berhemat ketika memiliki uang dan tidak terbebani ketika tidak memiliki uang.
Saya tidak tahu apakah kemiskinan yang diderita oleh
Yoshichi dan Neneknya merupakan musibah atau berkah. Namun, menurut saya, jika
Yoshichi tidak mengalami hidup miskin ketika kecilnya dan juga tidak
mengalaminya bersama sang nenek, kemungkinan besar ia tidak menjadi seperti
sekarang ini; menjadi seorang entertainer yang sukses.
Saat ini saya melihat banyak orang tua yang menitipkan
anak – anak mereka kepada nenek dan kakek sang anak karena alasan kesibukan
mencari nafkah di kota. Namun jatah uang yang dikirimkan orang tua ditambah
dengan kakek nenek yang memanjakannya malah membuat hidup sang anak menjadi
berantakan. Sepanjang yang saya ketahui, anak yang dititipkan kepada nenek dan
kakeknya seperti ini menjadi anak yang bermasalah di sekolah.
Karena itu, buku ini sudah selayaknya dibaca oleh anak,
orang tua dan juga kakek nenek. Pengalaman orang lain terlalu sayang untuk
hilang dan dilupakan sebagaimana matinya orang yang memiliki pengalaman itu. Pengalaman
orang lain sedemikian berharganya sehingga kita perlu memungutnya untuk kita
jadikan pelajaran.
Informasi Buku:
Buku 17
Judul: Saga No Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)
Penulis: Yosichi Shimada
Penerbit: Kansha Books
Tebal: 245 halaman
Cetakan: I, April 2011
Penulis: Yosichi Shimada
Penerbit: Kansha Books
Tebal: 245 halaman
Cetakan: I, April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar